FLORENCE NIGHTINGANLE (Ibu Perawat Sedunia)
Florence Nightinganle adalah anak dari seorang bangsawan Willian Edward Shore dan isterinya bernama Frances Smith berkebangsaan inggris, lahir tanggal 12 Mei 1920 di Kota Florence Italia. Walaupun berasal dari keluarga bangsawan ia lebih suka bergaul dengan anak-anak rakyat biasa dan suka menolong orang-orang yang tengah berada dalam kesulitan.
Didorong oleh kepribadiannya itulah, maka ia memillih pendidikan pada sekolah perawat dan bukan sekolah yang khusus disediakan untuk para bangsawan, perawat masih dianggap pekerjaan yang hina.
Didorong oleh kepribadiannya itulah, maka ia memillih pendidikan pada sekolah perawat dan bukan sekolah yang khusus disediakan untuk para bangsawan, perawat masih dianggap pekerjaan yang hina.
Pada saat ia mengabdi sebagai perawat di rumah sakit ia mendengar betapa hebatnya penderitaan prajurit di medan perang Krim, berita itu langsung menyentuh hatinya, ia menetapkan untuk pergi ke medan perang untuk merawat prajurit yang terluka.
Pada tanggal 1 Oktober 1854, dengan menumpang kapal laut ia berangkat menuju laut hitam, dan tiba di Scutary. Di Rumah Sakit Scutary inilah ia bersama teman-temannya membantu prajurit yang luka dan sakit walaupun dalam keadaan serba kekurangan. Florence menjalankan tugasnya 24 jam sehari dengan istirahat sebisanya, pada malam hari ia selalu berkeliling memeriksa pasien dengan menenteng lentera ditangannya sehingga ia dikenal dengan julukan “Lady of the Lamp”.
Florence yang setiap saat berada dalam suasana prihatin, ia tidak membiarkan satu orang prajuritpun menghembuskan nafas terakhir tanpa ia saksikan sendiri. Akhirnya peperangan dapat diselesaikan setelah berlangsung lebih dari dua tahun, bulan Juli 1856 angkatan perang Inggris akan ditarik kembali, tetapi Florence belum mau ikut pulang sebelum Rumah Sakit benar-benar kosong dari penderita.Sebagai pahlawan kemanusiaan Florence mendapat berbagai penghargaan dari pemerintah Inggris. Florence meninggal pada tanggal 13 Agustus 1910.
Pada tanggal 1 Oktober 1854, dengan menumpang kapal laut ia berangkat menuju laut hitam, dan tiba di Scutary. Di Rumah Sakit Scutary inilah ia bersama teman-temannya membantu prajurit yang luka dan sakit walaupun dalam keadaan serba kekurangan. Florence menjalankan tugasnya 24 jam sehari dengan istirahat sebisanya, pada malam hari ia selalu berkeliling memeriksa pasien dengan menenteng lentera ditangannya sehingga ia dikenal dengan julukan “Lady of the Lamp”.
Florence yang setiap saat berada dalam suasana prihatin, ia tidak membiarkan satu orang prajuritpun menghembuskan nafas terakhir tanpa ia saksikan sendiri. Akhirnya peperangan dapat diselesaikan setelah berlangsung lebih dari dua tahun, bulan Juli 1856 angkatan perang Inggris akan ditarik kembali, tetapi Florence belum mau ikut pulang sebelum Rumah Sakit benar-benar kosong dari penderita.Sebagai pahlawan kemanusiaan Florence mendapat berbagai penghargaan dari pemerintah Inggris. Florence meninggal pada tanggal 13 Agustus 1910.
JEAN HENRY DUNANT (Bapak Palang Merah Sedunia)
Jean Henry Dunant lahir pada hari Kamis tanggal 8 Mei 1826, di Ridverdine Genewa Swiss. Ayahnya berna aJean Jacques Dunant seorang anggota Dewan Republik Swiss dan Ibunya bernama Anne Antoniette Colladone keturunan bangsawan Perancis.Terpengaruh oleh pekerjaan ayahnya sebagai ketua yayasan yatim piatu, Henry Dunant memiliki dasar-dasat kepribadian yang halus dan senantiasa menolong mereka yang menderita. Pada usia 18 tahun ia mengikuti Young Men Criton Assocacosution di Perancis sebuah perhimpunan yang bertujuan meringankan penderitaan sesama manusia.Di Alzazair Henry Dunant membangun usaha perkebunan dan penggilingan gandum, tetapi pada usia 30 tahun, ia dihadapkan pada cobaan dimana usahanya mulai mengalami kesulitan dana. Kesulitan lain yang dialami Dunant ialah karena ia bukan warga Negara Perancis, maka ia tidak begitu saja memperoleh konsensi atas penggunaan air bagi penggilingan gandumnya. Untuk itu, bagi Dunant tidak ada jalan lain kecuali berusaha menemui Napoleon III, yang kebetulan sedang berada di daerah Italia Utara untuk memimpin perang menghadapi Austria.Dengan tekad bulat ia berangkat ke Itali mengikuti angkatan perang Perancis dengan maksud akan lebih mudah bertemu dengan Napoleon III. Namun apa yang dialami Dunant bukannya bertemu dengan Napoleon III untuk kepentingan bisnisnya tetapi ia terperangkap dalam wilayah pertempuran Perancis – Sardinia di Solferino.
Dengan mengesampingkan bisnisnya, Dunant bersama masyarakat setempat melakukan berbagai usaha untuk membantu prajurit yang luka dan sakit. Sepulangnya dari Solferino ia mulai menulis buku, dan buku ini diterbitkan bulan November 1862 yang diberi judul “Un Souvenir de Solferino” atau kenang-kenangan di bukit Solferino. Buku ini tidak hanya memuat tentang betapa hebatnya pertempuran dan penderitaan prajurit kedua pihak yang berperang dan tentang pengalaman Dunant sendiri, tetapi yang lebih penting dari itu adalah ide Henry Dunant yang menyatakan perlunya organisasi-organisasi sukarela yang bersifat internasional dan bebas untuk melakukan kegiatan pemberian bantuan bagi prajurit yang luka dan sakit di medan pertempuran tanpa adanya diskriminasi.
Dalam proses perkembangannya setelah terbentuknya perhimpunan-perhimpunan Palang Merah nama Jean Henry Dunant semakin populer dan mendapat sanjungan dimana-mana. Tetapi sebaliknya bisnis yang ia jalankan hancur dan mengalami kebangkrutan usaha. Rumahnya terjual dan harta miliknya baik di Swiss maupun di luar negeri habis.
Hancurnya bisnis dan habisnya harta Dunant justru karena kegiatannya di bidang kemanusiaan. “Henry Dunant mengalami penderitaan demi penderitaan”. Pada tahun 1867 Napoleon III mengadakan pameran besar di Paris. Dalam rangka pameran tersebut Henry Dunant menerima penghargaan berupa medali emas, dan Dunant diangkat oleh beberapa Negara di Eropa sebagai Ketua Palang Merah. Tahun 1901 Henry Dunant mendapat hadiah Nobel untuk perdamaian dunia. Dunant meninggal dalam usia 82 tahun, pada hari minggu tanggal 30 Oktober 1910 di Desa Appernzeller Heiden dan dimakamkan di Zurich.
RIWAYAT HIDUP ANGGOTA KOMITE LIMA
1. Henry Dufour
Henry Dufour pertama kali memasuki dinas kestentaraan yang akan dijalani seumur hidupnya pada tahun 1810, direkrut sebagai tentara Perancis Lima tahun sebelum Napoleon mangalami kekalahan di Waterloo. Dufour lahir di Costance pada tahun 1787. Ia mengalami luka pada tahun 1813 dan diobati di sebuah tahanan militer Inggris. Insinyur Sipil lulusan Encole Polytechnique Paris ini menghabiskan waktunya untuk membangun rel kereta api, jembatan dan perumahan.Swiss pada waktu itu belum membentuk konfederasi dan Dufour memainkan peran kunci dalam kampanye tentara Swiss untuk berjuang bagi sebuah negara bersatu. Pada tahun 1830, ia mengajukan khusus bagi bendera federal yang kemudian menjadi bendera negara tersebut dan sangat terkenal, Palang putih diatas dasar merah.
Dufour, seorang Jendral menjadi kepala Staff tentara Swiss pada saat huru-hara seperti revolusi, perang kemerdekaan dan guncangan akibat pergantian rezim yang terjadi di seluruh Eropa. Namun ia adalah politisi yang sangat dihirmati. Pada awal tahun 1860-an ia bertemu Henry Dunant dan membantunya untuk mendirikan Palang Merah.
2. Gustave Moynier
Gustave Moynier sangat tertarik dengan bukunya Henrdy Dunant, “A Memory of Solferino”. Dua orang tersebut bertemu dan gabungkan gagasan. Mereka memainkan peran penting dalam pembentukan palang Merah.Moynier lahir pada tahun 1928, lulusan Sarjana Hukum di Jenewa dan Perancis. Menjadi seorang Pilantropis dan pembela hak-hak kemanusiaan dan sosial. Beliau menjadi Presiden dari ICRC sejak awal berdiri selama 46 tahun. Moynier dianggap sebagai arsitek utama organisasi.
Pada tahun 1873, Moynier membantu pembentukan Institute of International Law di Jenewa yang kemudian dianggap sebagai tokoh pembela hak azasi manusia. Moynier sadar akan kabutuhan prioritas penyebaran makna hak azasi manusia secara luas.
3. Dr. Theodore Mounoir
Dr. Theodore Mounoir, seorang pendiri dan anggota Gerakan Palang Merah. Lahir di Jenewa pada tahu 1806 dan belajar kedokteran di Inggris dan Perancis. Dia menjadi ahli bedah dan anggota dari Dewan Kesehatan pada Komisi Kesehatan Lingkungan dan Kebersihan Masyarakat Jenewa. Talleyrand seorang Diplomat terkenal melihat bakat Mounoir dalam dunia diplomasi namun gagal membujuknya karena ia lebih memilih kedokteran.
Mounoir adalah teman Louis Appia, seorang pendiri Palang Merah seperti dirinya. Buku Sejarah ICRC ‘From Solferino to Tushima’ karya Pierre Boissier menggambarkan Mounoir sebagai seorang yang memiliki kualitas tinggi. Selain cerdas dia juga tampan, dan isi surat-suratnya mencerminkan ia mempunyai rasa humor yang tinggi.
Pemikirannya yang jelas dan akurat sangat membantu Dunant, Dufour, Moynier, dan Appia untuk mendirikan sebuah organisasi yang kemudian menjadi sebuah gerakan sukarela terbesar di dunia. Sampai dengan kematiannya pada tahu 1819, ia selalu disosialisasikan dengan ICRC.
Dufour, seorang Jendral menjadi kepala Staff tentara Swiss pada saat huru-hara seperti revolusi, perang kemerdekaan dan guncangan akibat pergantian rezim yang terjadi di seluruh Eropa. Namun ia adalah politisi yang sangat dihirmati. Pada awal tahun 1860-an ia bertemu Henry Dunant dan membantunya untuk mendirikan Palang Merah.
2. Gustave Moynier
Gustave Moynier sangat tertarik dengan bukunya Henrdy Dunant, “A Memory of Solferino”. Dua orang tersebut bertemu dan gabungkan gagasan. Mereka memainkan peran penting dalam pembentukan palang Merah.Moynier lahir pada tahun 1928, lulusan Sarjana Hukum di Jenewa dan Perancis. Menjadi seorang Pilantropis dan pembela hak-hak kemanusiaan dan sosial. Beliau menjadi Presiden dari ICRC sejak awal berdiri selama 46 tahun. Moynier dianggap sebagai arsitek utama organisasi.
Pada tahun 1873, Moynier membantu pembentukan Institute of International Law di Jenewa yang kemudian dianggap sebagai tokoh pembela hak azasi manusia. Moynier sadar akan kabutuhan prioritas penyebaran makna hak azasi manusia secara luas.
3. Dr. Theodore Mounoir
Dr. Theodore Mounoir, seorang pendiri dan anggota Gerakan Palang Merah. Lahir di Jenewa pada tahu 1806 dan belajar kedokteran di Inggris dan Perancis. Dia menjadi ahli bedah dan anggota dari Dewan Kesehatan pada Komisi Kesehatan Lingkungan dan Kebersihan Masyarakat Jenewa. Talleyrand seorang Diplomat terkenal melihat bakat Mounoir dalam dunia diplomasi namun gagal membujuknya karena ia lebih memilih kedokteran.
Mounoir adalah teman Louis Appia, seorang pendiri Palang Merah seperti dirinya. Buku Sejarah ICRC ‘From Solferino to Tushima’ karya Pierre Boissier menggambarkan Mounoir sebagai seorang yang memiliki kualitas tinggi. Selain cerdas dia juga tampan, dan isi surat-suratnya mencerminkan ia mempunyai rasa humor yang tinggi.
Pemikirannya yang jelas dan akurat sangat membantu Dunant, Dufour, Moynier, dan Appia untuk mendirikan sebuah organisasi yang kemudian menjadi sebuah gerakan sukarela terbesar di dunia. Sampai dengan kematiannya pada tahu 1819, ia selalu disosialisasikan dengan ICRC.
4. Dr. Louis Appia
Dr. Louis Appia, Lahir pada tahun 1818 di Frankfurt dan memperoleh gelar Dokter di Heidelberg pada tahun 1843. Appia menaruh minat khusus pada perkembangan teknik bedah terhadap korban perang.Pada tahun 1859, pada suatu konflik, Appia memobilisasi sumber daya dan bantuan dana untuk menolong mereka yang terluka dan beliau sendiri bekerja di rumah sakit lapangan. Kerja sukarela untuk misi-misi seperti itu adalah bagian penting dari hidupnya.
Dua tahun kemudian Appia diangkat sebagai Medical Society di Jenewa. Kamudian pada tahun 1863 beliau diminta untuk bekerja didalam sebuah komisi yang membahas gagasan Henry Dunant bagi peningkatan kondisi tentara – tentara yang terluka di medan perang. Komisi ini kemudian menjadi ICRC. Pada bulan Oktober 1863, Appia menyarankan agar para sukarelawan di zona perang seharusnya memakai pita lengan putih untuk mengidentifikasi mereka. Jendral Dufour kemudian menyarankan agar semua tanda pita lengan Palang Merah saja yang digunakan.
0 komentar:
Posting Komentar